Wanita di berbagai belahan dunia masih berada dalam belenggu budaya patriarki. Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, Alfian Rokhmansyah menuturkan bahwa patriarki adalah struktur kemasyarakatan yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Artinya, terdapat perbedaan kasta dan dominasi laki-laki di atas perempuan pada berbagai aspek kebudayaan. Penyebabnya tidak lain adalah adat dan kebiasaan yang berlaku di wilayah negara tersebut. Kesenjangan dan ketidakadilan gender ini, mampu memengaruhi kegiatan sosial bermasyarakat.
Berbagai belenggu yang dialami perempuan pada akhirnya melahirkan feminisme. Secara singkat, paham ini dapat diartikan sebagai ideologi dan gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan dalam bidang politik, sosial, hingga ekonomi. Feminisme tidak bekerja dalam konsep persaingan antara laki-laki dan perempuan, tetapi justru mengarahkan pada adanya kehidupan yang saling berdampingan bagi setiap gender. Hal yang dituntut adalah kesetaraan sebagai wujud keadilan, bukan persamaan.
Rekam Jejak Isu Feminisme
Upaya untuk mengakhiri dominasi laki-laki atas perempuan telah dilakukan sejak zaman dahulu. Menilik catatan sejarah, isu feminisme muncul di Eropa pada akhir abad ke-14 hingga abad ke-18. Kehadirannya didorong oleh perkembangan ideologi aufklarung (enlighment) yang didasarkan pada paham rasionalisme. Dengan kata lain, mengedepankan penggunaan akal dan pikiran.
Isu feminisme kemudian terus berkembang secara masif dan menyebar luas ke berbagai penjuru dunia hingga saat ini. Pada perjalanannya, isu feminisme melahirkan tokoh-tokoh terkenal, seperti Mary Wollstonecraft yang merintis gerakan feminisme di Inggris dengan bukunya A Vindication of the Rights of Woman, ataupun Betty Friedan yang memelopori feminisme di Amerika Serikat melalui bukunya The Feminine Mystique. Ia juga ikut serta mendirikan organisasi National Organization for Woman (NOW) pada tahun 1966.
Di Indonesia, gerakan mendobrak patriarki digalangkan oleh R.A Kartini. Dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang, ia menjelaskan penderitaan kaum perempuan yang lemah dan berada dalam genggaman kuasa laki-laki. Oleh sebab itu, ia menuntut adanya kebebasan wanita dalam menempuh pendidikan, serta persamaan derajat di mata hukum. Selain Kartini, banyak tokoh perempuan lain yang juga meneruskan usahanya, seperti Dewi Sartika, dan Rohana Kudus.
Memasuki tatanan dunia politik pasca kemerdekaan, Presiden Soekarno memperlihatkan kesepahamannya terhadap persamaan hak-hak wanita. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan kesempatan terhadap Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) untuk aktif dalam bidang politik.
Tembok Keras Stereotip Gender
Memasuki abad modern, upaya mendobrak budaya patriarki belum usai. Masih terdapat banyak hak wanita yang belum terpenuhi. Djoeffan (2001), menjabarkan tiga poin hambatan dari gerakan penuntutan hak-hak bagi kesetaran wanita. Pertama, pada bidang politik. Minimnya partisipasi wanita dalam politik disebabkan kurangnya sosialisasi oleh keluarga dan adanya penanaman prinsip yang menyatakan bahwa pendidikan politik merupakan persaingan yang tidak sehat, keras, jahat, serta menyita waktu dan perhatian. Kedua, kondisi sosial dan ekonomi. Peran ganda sebagai ibu rumah tangga serta wanita karir kerapkali menjadi momok bagi perempuan untuk berkembang lebih jauh. Terakhir, berkaitan aspek ideologis dan psikologis. Wanita dianggap tidak cocok menjadi seorang pemimpin karena stigma perempuan yang lebih mengedepankan emosional dibandingkan pemikiran rasional ketika mengambil keputusan
Di Indonesia, perihal feminisme selalu mengalami pertentangan masyarakat konservatif dan dikaitkan dengan nilai agama maupun kodrat perempuan. Mereka beralasan bahwa perlu ada batasan antara perempuan dan laki-laki sesuai dengan aturan agama agar tidak mengganggu tatanan sosial bermasyarakat.
Feminisme Saat Ini
Saat ini paham feminisme terus digaungkan. Pasalnya, masih banyak hak perempuan yang belum terpenuhi. Meski demikian, terdapat peningkatan kesadaran akan kesetaraan perempuan oleh masyarakat modern jika dilihat dari hasil survei yang dilakukan oleh tirto.id terkait topik feminisme. Survei ini menggunakan enam pertanyaan, meliputi kesetaraan dalam memimpin, kesetaraan dalam memperoleh upah sesuai kinerja, perlindungan dari kekerasan seksual, serta hak yang sama untuk menempuh pendidikan. Mayoritas responden sebenarnya pro-perempuan meski sebagian besar dari mereka enggan disebut sebagai seorang feminis.
Perdebatan dengan sinisme yang nihil akan gagasan menjadikan masyarakat terjebak dalam olok-olok dan labelisasi. Mereka justru jauh dari dari ranah ide dan relevansi atas kepentingan hak-hak bagi perempuan itu sendiri. Oleh sebab itu, adanya peningkatan kesadaran ini harus dimanfaatkan. Masyarakat harus dibebaskan dari belenggu pemikiran bahwa gerakan kesetaraan gender adalah pilihan individu ataupun ego perempuan semata.
Referensi
Suwastini, Ni Komang Arie (2013, April 01). Perkembangan Feminisme Barat dari Abad Kedelapan Belas Hingga Postfeminisme: Sebuah Tinjauan Teoretis. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. 2 (1): 198–208
Djoeffan, Sri Hidayati. (2001). Gerakan Feminisme di Indonesia Tantangan dan Strategi Mendatang. Mimbar. 3: 284–300
Tempo.co. (2021, April 01). Pengaruh Budaya Patriarki Berbagai Lini dalam Kehidupan Bermasyarakat. Retrieved from cantik.tempo.co: https://cantik.tempo.co/read/1448099/pengaruh-budaya-patriarki-berbagai-lini-dalam-kehidupan-bermasyarakat/full&view=ok
Yunazar, Flavia M. (2019, Januari 03). Perjalanan Feminisme Indonesia dan Tokoh Dibaliknya. Retrieved from communication.binus.ac.id: https://communication.binus.ac.id/2019/01/03/perjalanan-feminisme-indonesia-dan-tokoh-dibaliknya/
Iswara, Made Anthony (2021, Juni 16). Survei Feminisme: Tolak Label Feminis, tapi Mendukung Isu Perempuan. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/survei-feminisme-tolak-label-feminis-tapi-mendukung-isu-perempuan-ggLF